Nilai Rasa Kata dalam Bahasa Indonesia: Manis, Asam, Asin Kata
Dalam menggunakan kata (berbicara atau menulis) hendaknya hati-hati dalam memilih kata. Ada ketentuan ‘Nilai Rasa’ pada kata. Ada kata yang tidak boleh (sebaiknya jangan) digunakan karena memiliki nilai rasa tabu. Ada kata yang harus berhati-hati ketika digunakan karena memiliki nilai rasa yang negatif. Ada pula kata yang memiliki nilai rasa positif sehingga lebih mudah menggunakannya dalam berbagai kepentingan.
Munculnya nilai rasa kata berkaitan erat dengan norma agama, kepercayaan, sosial budaya, dan pandangan hidup suatu masyarakat. Bisa jadi pada sebuah masyarakat sebuah kata bermakna positif, tetapi di tempat lain bermakna negatif. Hal ini disebabkan karena masing-masing daerah memiliki budaya dan pengetahuan berbeda untuk sebuah istilah yang sama. Bahkan dalam sebuah masyarakat, nilai rasa sebuah kata bisa berubah seiring jalannya waktu. Kata yang awalnya dianggap bernilai positif (baik) bisa jadi berubah menjadi bernilai rasa negatif.
Nilai rasa kata dalam bahasa Indonesia bisa diperinci menjadi beberapa istilah antara lain, konotasi, eufemia, disfemia, tabu, dan ameliorasi, serta peyorasi. Berikut penjelasannya:
Konotasi
Dalam pembahasan nilai rasa kata, konotasi memiliki pengertian bahwa, sebuah kata ada yang bernilai positif, bernilai negatif, ada pula yang netral. Yang bernilai rasa positif adalah ketika seorang mendengar bahkan disebut menggunakan kata tersebut orang tersebut akan bangga dan senang. Jika kata yang bernilai rasa negatif dilekatkan kepada seseorang, maka akan muncul rasa tidak senang, sedangkan kata yang bernilai rasa netral tidak menyebabkan senang, juga tidak menyebabkan tidak senang.
Contoh konotasi nilai rasa dalam bahasa Indonesia adalah kata yang bersinonim berikut ini: kurus, kerempeng, dan langsing. Ketiga kata tersebut pada dasarnya memiliki makna yang sama (serupa) tetapi penggunaannya harus disesuaikan dengan nilai rasa yang terkandung di dalamnya, agar apa yang diinginkan oleh pembicara dapat diterima dengan baik oleh pendengarnya.
Kata kerempeng memiliki nilai rasa negatif. Kata tersebut bisa dianggap menghina. Sementara itu, kata langsing memiliki nilai rasa positif yaitu bentuk tubuh yang ideal. Orang lebih suka disebut langsing daripada disebut kerempeng. Kerempeng identik dengan kekurangan gizi pada tubuh, sementara langsing identik dengan bentuk tubuh yang indah. Sementara itu, kata kurus tidak memiliki nilai positif maupun negatif.
Tidak semua kata memiliki sinonim dalam tiga tataran makna konotasi seperti di atas. Sebagian besar kata dalam bahasa Indonesia memiliki dua makna, antara netral dan positif saja atau netral dan negatif saja.
Contoh yang lain, sebuah kata bisa dianggap negatif di suatu tempat tetapi memiliki nilai rasa netral di tempat yang lain. Contoh kata babi. Di tempat yang mayoritas penduduknya muslim, tentu kata tersebut memiliki nilai rasa konotasi negatif, tetapi di tempat yang sebagian besar masyarakatnya mengonsumsi hewan tersebut, kata babi bernilai rasa netral.
Eufemia (Eufemisme)
Pengertian Eufemia/Eufemisme sering bersinggungan dengan pengertian konotasi. Hal ini wajar karena memang sama-sama berkaitan dengan nilai rasa kata. Tetapi pada dasarnya keduanya berbeda. Konotasi menyangkut nilai rasa pada kata. Sedangkan eufemia atau eufemisme merupakan hasil tindakan penuturnya atau bisa juga disebut sebagai usaha manusia / penutur untuk menghaluskan sebuah kata dengan tujuan untuk mempersopan ucapan.
Contoh eufemia / eufemisme:
Kata bodoh disopankan dengan menggantinya dengan tidak pandai.
Kata zakar tidak digunakan tetapi diganti dengan alat vital pria.
Penggunaan istilah lain dengan menggabungkan beberapa kata seperti di atas digunakan untuk mempersopan ucapan. Hal ini karena pada dasarnya eufemia atau eufemisme untuk menghindari kata-kata yang jorok. Misalnya kata tai tidak digunakan melainkan menggunakan kotoran manusia. Namun, pada perkembangannya eufemia atau eufemisme digunakan untuk menghindari / menutupi tindakan kejahatan. Misalnya dengan mengganti kata korupsi dengan menyalahgunakan wewenang. Sama halnya dengan kata uang pelicin untuk mengganti sogokan.
Disfemia
Disfemia merupakan kebalikan dari eufemia atau eufemisme. Jika eufemia bertujuan untuk mempersopan ucapan, disfemia merupakan usaha atau tindakan untuk mengganti ungkapan yang halus dengan ungkapan yang lebih kasar dan menohok. Hal ini digunakan untuk menunjukkan kejengkelan, kekesalan, dan bahkan sindiran tajam.
Contoh disfemia: kata mencetak gol tidak memiliki tendensi untuk menghina atau kasar, tetapi ada yang mengganti ungkapan tersebut dengan merobek gawang lawan, membobol pertahanan dua ungkapan tersebut lebih bernilai rasa untuk merendahkan lawan yang kebobolan.
Pada dasarnya eufemia atau eufemisme dan disfemia merupakan masalah retorika bahasa.
Ketabuan
Ketabuan dalam berbahasa berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat. Dalam kebudayaan Jawa disebut juga gak ilok (makna asalnya: tidak bagus). Contoh kata-kata tabu yang diucapkan di dalam hutan. Tidak boleh menyebut kata macan (harimau) karena ada kepercayaan jika namanya disebut hewan pemakan daging tersebut bisa seketika muncul dan menyerang. Maka digantilah kata macan dengan cara menyebutnya: mbahe. Begitu pula dengan ular yang diganti penyebutannya dengan oyot (akar).
Kata tabu tidak hanya berkaitan dengan kepercayaan masyarakat, melainkan pula berkaitan dengan kesopanan. Contoh kata senggama tabu untuk diucapkan maka diganti dengan kata hubungan suami istri. Kata alat kelamin diganti dengan rahasia lelaki atau kehormatan wanita.
Memang ada kemiripan antara ketabuan dan eufemia/eufemisme, tetapi sebenarnya berbeda. Tidak digunakannya kata tabu berkaitan dengan tidak boleh sementara eufemia/eufemisme berkaitan dengan kata yang tidak sopan.
Peyorasi dan Ameliorasi
Kedua istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan perubahan nilai rasa kata dalam sebuah masyarakat. Tentu hal ini berkaitan dengan dengan pandangan masyarakat. Misalnya penggunaan sapaan bung dianggap lebih tinggi jika dibandingkan dengan sapaan bang. Kata bung identik dengan tokoh-tokoh besar semisal Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo. sementara itu kata sapaan bang identik dengan orang kecil misalnya bang tukang sayur dan bang penjual bakso.
Kata yang nilai rasanya menjadi lebih tinggi disebut mengalami proses ameliorasi, sementara kata yang nilai rasanya menjadi lebih rendah dari sebelumnya disebut dengan peyorasi.
Ada kemungkinan nilai rasa berubah dari waktu ke waktu. Sekali lagi ini berkaitan dengan keadaan sosial masyarakat penuturnya. Misalnya kata sapaan cak dalam bahasa Jawa Jawatimuran. Identik pula dengan orang kecil, itu dulu. Sekarang banyak pula tokoh besar yang berasal dari Jawa Timur yang dipanggil cak. Misalnya Cak Imin (Muhaimin Iskandar, mantan menteri era SBY), juga Cak Lontong pelawak. Kata cak yang awalnya identik dengan becak mengalami ameliorasi menjadi lebih tinggi nilai rasanya.